suara-indonesia-nasional.com/Tambolaka – Sampai dengan saat ini pertanyaan awak media terkait anggaran kegiatan Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL) di Kabupaten SBD belum terjawab.
Sampai dengan saat ini pertanyaan awak media terkait anggaran kegiatan Reboisasi Hutan dan Lahan (RHL) di Kabupaten SBD belum terjawab.
Kegiatan ini jadi sorotan karena fakta progres penghijauan yang berjalan selama tiga tahun itu terlihat seperti jauh panggang dari api.
Lokasi RHL di Desa Karuni, Kecamatan Loura misalnya yang luas arealnya disebut mencapai 100 hektar diduga hanya sebagian kecil yang dikelola.
Bahkan pemberdayaan warga lokal pun tidak berhasil karena kemudian tenaga kerja didatangkan dari luar wilayah.
Upaya awak media untuk memperoleh data luas areal, jumlah titik lokasi, dan besar anggaran tidak mendapatkan hasil.

“Maaf ya teman-teman masih tugas lapangan, belum balik, saya sudah minta disiapkan,” katanya singkat melalui pesan WhatsApp.
Namun hingga kini jawaban tersebut belum juga diperoleh awak media ini.
Malahan pada Minggu (15/06/2025) pukul 19.02 WITA Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Imanuel Bombo, S.Hut mengirim pesan mengejutkan.
“Selamat malam, Pak tidak muat berita lagi ko?” tanya Imanuel Bombo dalam pesan WhatsApp tersebut.
Namun setelah itu ia tidak lagi merespon pertanyaan balik redaksi media ini.
Dari data yang dihimpun media ini, kegiatan RHL dilaksanakan selama tiga tahun.
Tahun pertama difokuskan untuk kegiatan penanaman pohon dan dua tahun berikutnya khusus untuk perawatan dan penyulaman pohon yang gagal tumbuh atau mati.
Kegiatan yang didanai pihak provinsi melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benain-Noelmina ini tidak menampakkan hasil yang menggembirakan.
Dalam pemberitaan sebelumnya sesuai penjelasan pihak UPT KPH Kabupaten SBD disebutkan bahwa kegiatan RHL terkendala kebakaran lahan.
Padahal, dalam anggaran pemeliharaan disediakan dana penanganan kebakaran untuk pembuatan ilaran api dan penyediaan anakan untuk penyulaman pohon yang mati beserta upah tenaga kerja.
Informasi dari narasumber di dinas kehutanan provinsi menyebut, pada setiap tahun untuk areal seluas 100 hektar disediakan anggaran pemeliharaan kurang lebih 1,5 miliar.
Sedangkan untuk kegiatan penanaman pada tahun pertama disediakan anggaran pengadaan anakan pohon, kawat duri untuk pagar, dan upah tenaga kerja dengan sistem Harian Orang Kerja (HOK).
Pada lokasi lain yang berada di Desa Lua Koba, Kecamatan Wewewa Barat pun terlihat kondisi yang sama.
Namun demikian, informasi luas lahan yang dijadikan lokasi RHL di desa ini pun tidak dijelaskan.
Upaya menutup informasi kegiatan RHL ini menimbulkan tanda tanya besar.
Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) NTT, Alfred Baun bahkan bersuara keras dan menuding jika kegiatan itu ilegal karena ada upaya menutup informasi.
“Kita bisa menduga RHL itu kegiatan ilegal,” ujar Alfred kepada media ini, Senin (09/06/2025) lalu.
Ia juga mempertanyakan mekanisme kerja apakah sistemnya swakelola penuh atau ditenderkan.
“Itu jelas sampai dengan mereka menghindar dari media untuk menjelaskan anggaran itu adalah bagian daripada pekerjaan-pekerjaan ilegal yang dilakukan oleh instansi kehutanan,” tandasnya.
( Red )